Politik yang “Datar”

Kompas/Rabu, 27 Februari 2008

Arifin Panigoro

Jika Thomas L Friedman (2005) menyatakan the world is flat, saya cukup mengatakan the Indonesian politics is flat. Itulah kesimpulan sementara saat menyaksikan dinamika politik republik dalam beberapa tahun terakhir.

Seperti Friedman yang melihat konvergensi teknologi dan peristiwa sebagai jejaring yang membuat negara-negara berkembang terintegrasi dalam mata rantai pemasok global, Indonesia juga memberi kontribusi luar biasa bagi penguatan demokrasi pada aras global.

Namun, seperti karut-marut birokrasi yang membuat pengusaha Indonesia kehilangan kesempatan mengambil keuntungan dari dunia yang kian datar, politisi kita belum memberi sumbangan optimal bagi perbaikan bangsa. Mereka terjebak budaya paternalistik yang subur dan membelit partai.

Politik memanas

Sebagai pelaku usaha yang mengamati geliat politik nasional, saya melihat budaya paternalistik yang mengakar itu membuat siapa pun kesulitan memprediksi gelombang politik yang bakal terjadi. Kuatnya budaya paternalistik di satu sisi mempermudah ledakan politik jika terjadi kekecewaan elite partai. Di sisi lain, ”rekonsiliasi” mudah dilakukan sejauh pimpinan partai mau menerima tawaran yang disodorkan lawan politik.

Dinamika politik yang akan terjadi tahun ini diperkirakan akan sama dengan yang terjadi tahun 2003. Pada triwulan pertama (Januari-Maret), bisa disebut masa ”damai”. Belum ada aktivitas politisi yang ”berarti”.

Pada triwulan kedua (April-Juni) suhu politik akan naik. Meski verifikasi partai politik dimulai bulan Maret, kumulasi kekecewaan partai-partai yang tidak lolos akan menggumpal pada awal triwulan ini. Pada masa ini, diduga akan terjadi penggalangan kekuatan untuk melakukan politisasi kegagalan. Seperti diprediksi banyak pihak, momentum peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional akan menjadi ajang kritik dan demonstrasi.

Triwulan ketiga (Juli-September) masa penegakan sikap oposisi. Pada masa ini suhu politik kian menanjak. Secara umum, partai-partai politik (kecuali Partai Demokrat) diduga akan mengambil jarak dengan pemerintah dan mulai memainkan peran sebagai spoiler (oposan). Kontestasi politik dimulai. Presiden dan wapres diduga akan melakukan ”serangan balik” bukan saja terhadap partai-partai itu, tetapi juga pengkritiknya.

Namun, suhu politik benar-benar memanas pada triwulan terakhir (Oktober-Desember). Kontestasi bukan lagi sebatas untuk merespons pengkritik, tetapi melebar pada pembangunan citra diri. Presiden dan wapres mulai berusaha mencuri perhatian publik. Respons terhadap para spoiler diduga akan panas dan tajam.

Triwulan terakhir itu dapat disebut periode pembinaan. Ini terkait penguatan hubungan antara partai politik dan figur yang akan mereka usung sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Teori “mendatar”

Meski suasana politik memanas, ledakan politik diperkirakan tidak akan terjadi. Kebijakan dan pendekatan yang dilakukan pemerintah terhadap semua elemen bangsa, utamanya partai politik, membuat situasi politik tetap datar. Budaya paternalistik partai mempermudah bekerjanya praksis politik mendatar ini.

Mengingat situasi politik panas-mendatar dan kebijakan ekonomi tidak mungkin radikal—karena beberapa keterbatasan seperti ketersediaan dana—secara prediktif pemilu presiden 2009 akan menarik.

Mengutip hasil jajak pendapat yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indo Barometer, popularitas Presiden Yudhoyono cenderung menurun. Jika pada awal terpilih popularitasnya mencapai 80 persen, akhir tahun 2007 LSI mencatat tinggal 59,9 persen. Sementara itu, Indo Barometer mencatat lebih rendah, yaitu 55,6 persen.

Jika penurunan terus terjadi dan tidak bisa dihentikan hingga mendekati Pemilu 2009, rakyat akan mencari pemimpin baru. Sebaliknya, jika grafik terus membaik, hampir bisa dipastikan Presiden Yudhoyono akan terpilih kembali. Masalahnya, bagaimana jika prestasi pemerintah dalam posisi mendatar (tidak jelek, tetapi juga tidak bagus)?

Jika situasi ”mendatar” itu terjadi, diduga kompetisi antarcalon presiden kian tinggi. Masing-masing pihak akan berusaha menjual kehebatan subyektif guna membangun citra baik di mata publik. Tetapi, karena situasinya mendatar, peluang masing-masing kandidat (termasuk incumbent) sama besar. Ketegasan, kewibawaan alamiah, kemampuan menerjemahkan bahasa pemilih pemula dan swing voters adalah sebagian faktor yang akan menjadi kunci kemenangan.

Pemilu 2009 adalah pemilu yang akan bergerak mengikuti hukum yang datar. Selain persaingan akan amat ketat, kualitas calon diperkirakan akan relatif seimbang. Siapa pemenang, sulit diprediksi! Kita tunggu saja.

Arifin Panigoro Pelaku usaha; Peminat Masalah-masalah Politik

 

By Akar Global Inisiatif Dikirimkan di Publikasi

1 comments on “Politik yang “Datar”

Tinggalkan komentar